Acara “Wakafpreneur Goes to Campus” telah sukses diselenggarakan pada Jumat, 22 November 2024, pukul 08.30–15.00 WIB, bertempat di Ruang B-311, Gedung Barat, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Pusat Kajian Ekonomika dan Bisnis Syariah (PKEBS) FEB UGM dan Yayasan Edukasi Wakaf, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dan masyarakat umum mengenai pengelolaan wakaf uang dalam mendukung pencapaian 17 agenda pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals (SDGs)).
Category Archives: Learning Corner
Ditulis Oleh:
Razhel Alfan Gumelar
Intern Assistant of PKEBS
Sebagai rukun islam ketiga, seorang muslim wajib mengeluarkan zakat apabila telah memiliki harta yang wajib dizakati, telah mencapai nishab (batas minimal ukuran harta) serta haul (waktu kepemilikan harta). Bahkan Abu Bakar Assidiq telah menyiapkan pasukan untuk menggempur mereka yang memisahkan antara shalat dan membayar zakat. Kemajuan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang keuangan dan ekonomi, membuat jenis dan bentuk kekayaan serta kegiatan manusia dalam mencari harta juga semakin berkembang, sehingga pemahaman para ulama islam saat ini dalam memahami makna dan cakupan objek zakat juga ikut berkembang. Hal tersebut, dikarenakan banyak harta yang dimiliki manusia saat ini tidak ada pada zaman Rasulullah dan pada masa-masa Khulafaurrasyidin.
Ditulis Oleh:
Dwiani Kartikasari
Intern Assistant of PKEBS
Pengertian
Apakah yang disebut sewa menyewa dalam islam? Bagimana hukum sewa menyewa dalam islam?
Dalam fiqh Islam disebut sewa menyewa disebut ijarah. Al-ijarah menurut bahasa berarti “al-ajru” yang berarti al-iwadu (ganti) oleh sebab itu as-sawab (pahala) dinamai ajru (upah). Menurut istilah, al-ijarah ialah menyerahkan (memberikan) manfaat benda kepada orang lain dengan suatu ganti pembayaran. Sehingga sewa menyewa atau ijarah bermakna akad pemindahan hak guna/manfaat atas suatu barang/jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah sewa (ujrah), tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Ditulis Oleh:
Romadhon Falaqh
Intern Assistant of PKEBS
Ekonomika Islam memiliki pandangan tersendiri untuk menjelaskan perilaku konsumen. Berbeda dengan konsep rasionalitas dalam ekonomika konvensional, Hossain (2014) memaparkan sebuah konsep yang bernama islamic economic rationalism (IER). Hal sama diulas pula oleh Ramli dan Mirza (2007) dengan membagi dua elemen rasionalitas islami menjadi worldview dan self-interest. Pada elemen self-interest, individu akan membatasi kepentingan diri menurut sharia compliance. Begitu pula IER dijelaskan bahwa agama adalah key determinant, sedangkan sumber syariah berasal dari ajaran agama. Diiringi faktor exogenous dalam perilaku konsumen yang berupa efek agama, kepercayaan, budaya serta legal and political framework (Kahf, 2004), pemikiran-pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa individu muslim itu sangat mempertimbangkan ihwal halal dan haram dari produk baik barang maupun jasa yang akan dikonsumsinya.
Oleh:
Esa Azali Asyahid
Intern Assistant of PKEBS
Jika kita mendengar frasa ekonomi Islam, apa yang pertama kali muncul di benak kita? Kemungkinan besar pikiran kita langsung tertuju pada zakat, wakaf, dan perbankan serta keuangan syariah. Mungkin juga kita akan membayangkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan fiqih muamalah. Di sisi lain kita sering mendengar frasa ini disandingkan, dengan tujuan untuk dibandingkan, dengan ekonomi konvensional. Lantas apa itu ekonomi konvensional?
Penggunaan istilah “ekonomi” dalam percakapan sehari-hari sebenarnya memiliki makna yang ambigu. Ketika kita mengucapkan kata ini, kemungkinan kita sedang merujuk pada salah satu dari dua konsep berikut : perekonomian atau ilmu ekonomi. Dalam bahasa Inggris, secara berturut-turut padanan istilah-istilah tersebut ialah economy dan economics. Perekonomian adalah fenomena riil yang berkaitan dengan kegiatan manusia mengalokasikan sumberdaya dalam memenuhi kebutuhannya, sementara ilmu ekonomi adalah studi mengenai bagaimana manusia mengalokasikan sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa perekonomian adalah tentang apa yang terjadi, dan ilmu ekonomi adalah bidang ilmu yang mempelajari hal tersebut. Ekonomi yang dimaksud dalam pembahasan kali ini adalah ilmu ekonomi (atau diistilahkan pula sebagai ekonomika).
Oleh:
Vivi Endah Ayuningtyas
Intern Assistant of PKEBS
Sistem keuangan syariah merupakan bagian dari upaya memelihara harta agar harta yang dimiliki seseorang diperoleh dan digunakan sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 29, Allah SWT berfirman yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu dan janganlah membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Ditulis Oleh:
Luthfi Nurlita Handayani
Intern Assistant of PKEBS
Secara umum prinsip ekonomi Islam terbagi menjadi tiga bagian. Prinsip-prinsip ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal yang meliputi tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah) dan ma’ad (hasil). Dari kelima nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yaitu kepemilikan multijenis (multiple ownership), kebebasan bertindak atau berusaha (freedom to act) serta keadilan sosial (social justice).
Oleh:
Ari Setiawan
Intern Assistant of PKEBS
Konsep mengenai harta dan kepemilikan merupakan salah satu pokok bahasan yang penting dalam Islam. Harta atau dalam bahasa arab disebut al-maal secara bahasa berarti condong, cenderung atau miring. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Ibnu Najm mengatakan, bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada dua unsur; Pertama, unsur ‘aniyyah dan Kedua, unsur ‘urf. Unsur ‘aniyyah berarti harta itu berwujud atau kenyataan (a’yun). sebagai contoh, manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak. Sedangkan unsur ‘urf adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau oleh sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat yang bersifat madiyyah maupun ma’nawiyyah.
Menurut terminologi hukum islam, akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syariah, yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Rukun dan syarat aka dada tiga yaitu pelaku, objek dan ijab qabul. Berikut merupakan penjelasan jenis-jenis akad dalam syariah.
Jenis Akad dalam Syariah
Sumber: Nurhayati dan Wasilah (2015)
Akad dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fiqih muamalat membagi akad menjadi dua yaitu:
- Akad Tabarru’ (gratuitous contract) adalah perjanjian yang merupakan transaksi yang tidak ditujukan untuk memperoleh laba (transaksi nirlaba). Tujuan dari transaksi ini adalah tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Ada 3 bentuk akad Tabarru’, yaitu:
a. Meminjamkan Uang
Meminjamkan uang termasuk akad Tabarru’ karena tidak boleh melebihkan pembayaran atas pinjaman yang diberikan, karena setiap kelebihan tanpa ‘iwad adalah riba. Ada 3 jenis pinjaman, yaitu:
Riba merupakan penyakit ekonomi akut masyarakat yang telah dikenal lama dalam sejarah perabadan manusia. Ulama menjelaskan definisi syar’i riba yaitu menambahkan beban kepada pihak berutang (dikenal dengan riba hutang piutang atau riba dayn) atau menambahkan takaran saat melakukan tukar menukar 6 komoditi ribawi (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar menukar emas dengan perak atau makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai (dikenal dengan riba jual beli atau riba Ba’i) (Tarmizi, 2014, hal. 335).
- 1
- 2