Oleh:
Vivi Endah Ayuningtyas
Intern Assistant of PKEBS
Sistem keuangan syariah merupakan bagian dari upaya memelihara harta agar harta yang dimiliki seseorang diperoleh dan digunakan sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 29, Allah SWT berfirman yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu dan janganlah membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Harta yang dimiliki oleh setiap orang merupakan titipan dari Allah SWT yang akan dimintai setiap pertanggungjawabannya. Adanya aturan ketentuan syariah bertujuan agar tercapai kemaslahatan bagi setiap orang. Akan tetapi. Allah SWT memberikan kebebasan kepada setiap hamba-Nya untuk menentukan pilihannya dan harus menerima konsekuensi dari setiap pilihannya tersebut.
Praktik sistem keuangan syariah telah dilakukan sejak kejayaan Islam. Akan tetapi, dikarenakan semakin melemahnya sistem kekhalifahan maka praktik sistem keuangan syariah tersebut digantikan oleh sistem perbankan barat. Sistem tersebut mendapat kritikan dari para ahli fiqh bahwa sistem tersebut menyalahi aturan syariah mengenai riba dan berujung pada keruntuhan kekhalifan Islam. Pada tahun 1970-an, konsep sistem keuangan syariah dimulai dengan pengembangan konsep ekonomi Islam. Berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunnah, prinsip sistem keuangan Islam adalah sebagai berikut:
- Larangan Riba
Riba didefinisikan sebagai “kelebihan” atas sesuatu akibat penjualan atau pinjaman. Riba merupakan pelanggaran atas sistem keadilan sosial, persamaan, dan hak atas barang. Sistem riba hanya menguntungkan para pemberi pinjaman dengan membebani penetapan keuntungan yang diperoleh pemberi pinjaman di awal perjanjian. Padahal “untung” dapat diketahui setelah berlalunya waktu bukan hasil penetapan di muka.
- Pembagian Risiko
Risiko merupakan konsekuensi dari adanya larangan riba dalam suatu sistem kerja sama antara pihak yang terlibat. Risiko yang timbul dari aktivitas keuangan tidak hanya ditanggung oleh penerima modal tetapi juga pemberi modal. Pihak yang terlibat tersebut harus saling berbagi risiko sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati.
- Uang sebagai Modal Potensial
Dalam Islam, uang tidak diperbolehkan apabila dianggap sebagai komoditas yaitu uang dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan barang yang dijadikan sebagai objek transaksi untuk memperoleh keuntungan. Sistem keuangan Islam memandang uang boleh dianggap sebagai modal yaitu uang bersifat produktif, dapat menghasilkan barang atau jasa bersamaan dengan sumber daya yang lain untuk memperoleh keuntungan.
- Larangan Spekulatif
Hal ini selaras dengan larangan transaksi yang memiliki tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi, misalnya seperti judi.
- Kontrak/Perjanjian
Dengan adanya perjanjian yang disepakati di awal oleh pihka-pihak yang terlibat dapat mengurangi risiko atas informasi yang asimetri atau timbulnya moral hazard.
- Aktivitas Usaha harus Sesuai Syariah
Usaha yang dilakukan merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut syariah, seperti tidak melakukan jual-beli minuman keras atau mendirikan usaha peternakan babi.
Oleh karena itu, prinsip sistem keuangan syariah berdasarkan prinsip sebagai berikut :
- Rela sama rela (antaraddim minkum).
- Tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la tazhlimuna wa la tuzhlamun).
- Hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi al dhaman).
- Untung muncul bersama risiko (al ghunmu bi al ghurmi).
Dari prinsip sistem keuangan tersebut, maka muncul dan berkembang instrumen-instrumen keuangan syariah terkait dengan kegiatan investasi maupun jual-beli sesuai dengan ketentuan syariah. Hal ini membantu pelaku ekonomi dalam memahami berbagai produk keuangan syariah dan ketentuan-ketentuan syariah dari setiap produk keuangan tersebut. S
Sumber :
Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2015. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.