Salah satu instrumen sumbangan sosial yang memiliki peran besar di dalam ajaran Islam adalah wakaf. Secara bahasa, wakaf berasal dari kata waqofa-yaqifu-waqfan yang memiliki arti menghentikan atau menahan. Sementara itu jika dilihat dari makna istilah, terdapat berbagai pendapat ulama yang bisa digunakan untuk menjelaskannya.
Wakaf memiliki tujuan untuk memanfaatkan benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Sementara itu fungsi wakaf adalah untuk mewujudkan sebuah potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya sementara benda itu tetap ada padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah. Sementara itu, wakaf dapat dimaknai juga sebagai menahan harta yang bias dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut melalui memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal yang dibolehkan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya dalam menunjang kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Secara khusus di Indonesia telah ada undang-undang yang mengatur tentang wakaf yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Dalam aturan pemerintah tersebut didefinisikan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif, pihak yang mewakafkan harta benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan Ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Rasulullah SAW mencontohkan secara langsung tentang praktik dalam mewakafkan harta untuk kemaslahatan umat. Pada zaman Rasulullah SAW hidup, terdapat sebidang tanah dari Mukhairik, seorang Yahudi yang terbunuh pada saat perang Uhud. Sebelum kematiannya telah berwasiat untuk memberikan tanah tersebut kepada Nabi, kemudian Nabi mewakafkan tanah tersebut. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, kurma yang dihasilkan dari tanah Mukhairik sangat terkenal cita dan rasanya. Imam ibn Syabbah menyebutkan, bahwa ketujuh kebun Mukhairik itu bernama; al-Dalāl, Barqah, al-A’wāf, alShāfiyah, al-Matsyab, Husna, dan Masyrabat Umm Ibrahīm.
Tak hanya Nabi SAW saja, praktik mewakafkan harta di jalan Allah juga dilakukan oleh para sahabat beliau. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, tentang tanah di Khaibar yang bernama Samagh telah diwakafkan oleh Umar bin Khattab ra, serta rumah yang diwakafkan kepada anaknya di Madinah. Hingga saat ini wakaf Khaibar dimanfaatkan untuk kebun kurma. Ustman bin ‘Affān mewakafkan sumur Raumah yang diriwayatkan dalam Hadits Nasai, Tirmidzi, dan Bukhāri. Manfaat dari wakaf sumur ini juga masih terjaga dengan baik hingga saat ini.
Terdapat pula kisah-kisah yang lain seperti Ali bin Abi Thalib juga mewakafkan hartanya di Yanbu’ dan Khaibar, Mu’az bin Jabal, Asma binti Abi Bakar, serta istri-istri Rasulullah, seperti Ummu Salamah, Shafiyah binti Hayi, dan Ummu Habibah juga ikut mewakafkan rumah-rumahnya di Madinah. Ada pula Panglima Perang Kaum Muslimin, Khālid bin Wālid, yang juga mewakafkan harta dan senjata perangnya. Kemudian Zubair bin Awwam mewakafkan rumah untuk keturunannya yang tersebar di Madinah, Mesir dan Makkah.
Dasar Hukum Wakaf
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran ayat 92)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa “Sesungguhnya Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu”. Nabi saw pun bersabda, “Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, “Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya.” [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Dua dalil di atas merupakan sebagian dari berbagai landasan hukum yang dapat dijadikan menjadi landasan syar’i ajaran Islam tentang wakaf. Secara umum berbagai landasan hukum wakaf yang ada saat ini adalah hasil dari ijtihad para ulama berdasarkan berbagai dalil dalam Al Qur’an dan Hadits. Memang dalil tentang wakaf tidak sebanyak zakat dan infak instrumen filantropi Islam yang lain, namun beberapa dalil tersebut sudah dapat digunakan bagi para ulama untuk menghasilkan ijtihad.
Jenis-jenis Wakaf
Terdapat dua klasifikasi wakaf apabila ditinjau dari segi peruntukan yaitu wakaf ahli dan wakaf khairi. Wakah ahli atau bisa disebut sebagai wakaf dzurri merupakan wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu dengan jumlah satu orang atau lebih tanpa memandang keluarga si wakif atau bukan. Dengan demikian untuk kasus yang pertama ini dapat diketahui bahwa apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri.
Klasifikasi selanjutnya adalah wakaf kahiri, sebuah klasifikasi wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau masyarakat. Wakaf berupa tanah untuk pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim merupakan berbagai contoh dari pelaksanaan wakaf khairi. Dibandingkan dengan yang pertama, wakaf klasifikasi kedua ini dinilai lebih besar manfaatnya karena lebih pihak-pihak yang dapat menerima manfaat dari skema wakaf kahiri.
Syarat Syah Wakaf
Sebagai salah satu amalan sunnah yang ditentukan secara spesifik pelaksanaannya, wakaf memiliki rukun dan syarat sah. Terdapat 4 rukun dalam wakaf yaitu 1) wakif (orang yang mewakafkan harta), 2) maukuf bih (barang atau harta yang diwakafkan), 3) mauquf ‘alaih (pihak yang diberi wakaf / peruntukan wakaf), dan 4) shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak umum untuk mewakafkan sebagaian harta bendanya.
Syarat dari wakif adalah orang yang merdeka, berakal sehat, baligh, tidak berada di bawah pengampunan (boros / lalai). Kemudian pada mauquf bih, syarat sahnya terbagi dua yaitu tentang sahnya harta yang diwakafkan dan kadar benda yang diwakafkan. Syarat sah harta yang diwakafkan adalah 1) harus mutaqawwam (sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal), 2) diketahui dengan yakin ketika diwakafkan, 3) milik wakif, dan 4) terpisah atau bukan milik bersama. Sementara itu syarat sah berdasarkan kadar benda yang diwakafkan tergantung pada masing-masing jenis benda wakaf apakah termasuk sebagai benda bergerak atau tidak bergerak.
Dari segi mauquf ‘alaih, para faqih sepakat bahwa wakaf atau infaq hendaknya diberikan kepada orang yang baik akhlaknya agar wakaf tersebut akan menjadi sarana ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada Allah. Selanjutnya, shighat sebagai rukun terakhir dari wakaf cukup dilakukan dengan ijab saja dari wakif tanpa memerlukan qabul dari mauquh ‘alaih.
Referensi
Bank Indonesia. 2016. Wakaf: Pengaturan dan Tata Kelola yang Efektif. Bank Indonesia: Jakarta.
Kementerian Agama RI. 2006. Fikih Wakaf. Kementerian Agama RI: Jakarta.
Mardani. 2011. Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Penerbit PT Refika Aditama : Bandung.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Sumber gambar: uda.com.my