Riba merupakan penyakit ekonomi akut masyarakat yang telah dikenal lama dalam sejarah perabadan manusia. Ulama menjelaskan definisi syar’i riba yaitu menambahkan beban kepada pihak berutang (dikenal dengan riba hutang piutang atau riba dayn) atau menambahkan takaran saat melakukan tukar menukar 6 komoditi ribawi (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar menukar emas dengan perak atau makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai (dikenal dengan riba jual beli atau riba Ba’i) (Tarmizi, 2014, hal. 335).
Riba merupakan perkara yang diharamkan dalam ajaran Islam. Islam memasukkan riba kedalam kategori dosa besar, dan para pelaku riba terancam dengan hukuman yang sangat berat sebagai indikasi tegasnya larangan Islam terhadap riba. Dalam surat Al-Baqarah ayat 279 ditegaskan bahwa Allah akan memerangi orang-orang yang membangkan yang tidak mau meninggalkan riba. Allah berfirman,
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu”. (Al-Baqarah: 279).
Selain terancam akan diperangi, Allah juga menyatakan bahwa pelaku riba terancam akan kekal selamanya dalam neraka serta tidak tentram jiwanya. Allah berfirman,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih menjelaskan bahwa riba merupakan 1 dari 7 dosa besar. Nabi ‘alaihi wa sallam bersabada,
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa sajakah tujuh perkara tersebut?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan (syariat), memakan harta riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan menuduh zina wanita beriman yang menjaga kehormatannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits diatas menjelaskan bagaimana riba merupakan 1 dari 7 dosa besar. Dari kandungan hadits diatas juga dapat diketahui bahwa dosa memakan riba berada satu tingkatan dengan syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari pertempuran, dan menuduh zina wanita beriman. Dalam riwayat shahih lain juga dijelaskan bahwa 1 dirham yang didapatkan oleh seorang laki-laki dari hasil riba lebih besar dosanya daripada berzina sebanyak 36 kali. Bahkan terdapat pula hadits yang menjelaskan bahwa dosa riba yang paling ringan adalah bagaikan seorang laki-laki yang menzinai ibu kandungnya sendiri.
Bahaya riba yang sangat besar ternyata tidak hanya mengancam kehidupan akhirat seorang muslim. Bahaya riba secara nyata juga dapat berdampak buruk bagi kehidupan baik pada tingkat pribadi maupun masyarakat. Bagi seorang pribadi, riba merupakan cerminan buruknya akhlak karena pelaku riba identik dengan sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya. Selain itu riba dapat melunturkan sifat belas kasih dan rasa simpati yang dimiliki orang seseorang. Buruknya akhlak seseorang tentu memiliki dampak buruk terutama berkaitan dengan hubungannya dengan orang lain. Selain itu, menurut Dr. Abdul Aziz Ismail (dosen di salah satu fakultas kedokteran di Mesir) riba dapat berdampak buruk terhadap kesehatan seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, bahkan stroke, pendarahan di otak dan mati mendadak (Tarmizi, 2014, hal. 343). Kondisi ini umumnya terjadi pada saat kondisi ekonomi yang sedang memburuk sehingga membebani kesahatan pelaku riba yang umumnya bersifat kikir dan tamak terhadap harta.
Selain memiliki bahaya terhadap pribadi atau individual, riba juga dapat memberikan dampak bagi kehidupan dalam masyarakat. Pertama riba dapat merusak sumber daya manusia, sebab menurut Ar Razy (wafat 606H) menciptakan manusia-manusia yang malas bekerja dan takut mengambil resiko untuk mengembangkan hartanya (Tarmizi, 2014, hal. 345). Padahal sumber daya manusia merupakan penggerak utama roda ekonomi suatu masyarakat. Kedua riba menjadi salah satu penyebab inflasi dorongan biaya. Hal ini disebabkan seorang produsen yang meminjam uang untuk mengembangkan usahanya harus membayar sejumlah biaya bunga (riba), untuk menutupi biaya tersebut produsen akan menaikkan harga sehingga dalam skala makro berkontribusi dalam meningkatkan inflasi. Ketiga, riba dapat menciptakan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Hal ini disebabkan pihak yang memiliki kelebihan dana akan meminjamkan dana yang dimilikinya untuk memperoleh pendapatan dan sudah dipastikan akan mendapatkan keuntungan dari dana yang dipinjamkan tersebut. Sedangkan disisi lain, pihak peminjam akan tetap menghadapi risiko untung-rugi dari dana yang dipinjamnya untuk melakukan usaha. Selain itu peminjam juga harus mengeluarkan biaya ekstra yaitu bunga (riba) dari pinjamannya dimana hal tersebut tentu mengurangi kesejahteraannya. Keempat, perilaku riba dapat menciptakan beragam penindasan, permusuhan, dan perpecahan ditengah masyarakat.
Referensi
Muslim, M. N. (2008, Maret 18). Riba dan Dampaknya (2). Diambil kembali dari Muslim.or.id: https://muslim.or.id/576-riba-dan-dampaknya-2.html
Tarmizi, E. (2014). Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor: BMI Publishing.
Sumber gambar: moneysense.ca
Terimakasih ka:)